Kerja Bakti

Kebijakan seorang pemimpin tidak mungkin dapat membahagiakan semua pihak — Anonim


Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa takdir Mas Jundi akan menjadi Kepala Desa atau lebih familiar disebut Lurah. Bertahun-tahun menjadi wirausaha (apapun dijalani), dari berjualan rokok, narik gerobak, bertani di sawah, beternak sapi dan beternak burung muray. Banyak yang berempati tetapi tidak sedikit yang mencibir “Sarjana kok narik gerobak di sawah”. Meski tidak secara langsung diungkapkan tetapi bisik-bisik itu juga sampai kepada kami sekeluarga. Setelah saya runut, proses-proses itulah yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Iya, menjadi Lurah—Bapaknya masyarakat dari 9 RW (Rukun Warga) dengan penduduk berjumlah 2586. Sampai sekarang pun saya masih gak percaya saat ada masyarakat datang ke rumah dengan bahasa Jawa halus memanggil Mas Jundi dengan sebutan “Pak”. Malam sebelum pilkades, saya tidur bareng sama Mas Jundi, ngobrol banyak hal.

“Apa harapanmu untuk hasil besok, Mas?” tanya saya malam itu.

“Yang terbaik. Kalau memang gak terpilih, insya Allah itu juga pilihan yang terbaik” jawabnya tanpa ragu sedikitpun.

Waktu itu tidak hanya di desa saya yang mengadakan pilkades, tetapi beberapa desa juga mengadakannya di hari yang sama. Waktu paginya mau berangkat ke balai desa, Mas Jundi minta doa restu sama Bapak Ibu dulu. Ibu menangis dan saya juga ikut terbawa suasana.

Masih banyak yang under estimate dengan majunya Mas Jundi sebagai calon kepala desa. Kurang pengalamanlah, kurang matenglah (emang telur, ahaha), gak punya jiwa kepemimpinanlah. Pokoknya banyak hal-hal miring yang membuat Mas Jundi tidak difavoritkan dibanding dengan 2 calon yang lain. Tetapi, saya acungi jempol dengan niatnya Mas Jundi waktu itu, tidak patah semangat, mau door to door sama Mbak Endang (istrinya-red) mendatangi warga untuk minta dukungan. Makanya saat dinyatakan dipilih menjadi kepala desa, banyak yang nanya “Habis berapa?”, ahaha.

Saya belajar politik dari Mas Jundi. Satu tahun sebelum pemilihan, dia sudah memilih kader terbaik untuk mendukungnya. Mendaftar para calon pemilih dan melakukan pendekatan kepada warga. Sampai dia punya catatan kecil siapa yang nantinya akan memilih dan tidak akan memilihnya. Ada juga yang masuk dalam daftar abu-abu. Itu lho daftar yang gak jelas mau milih atau gak, di depan kayak mendukung maksimal, eh tapi ternyata di belakang enggaaaak. Dan dalam politik hal tersebut wajar terjadi.

Setelah surat suara dibacakan dan penghitungan suara selesai dilakukan, Mas Jundi akhirnya terpilih menjadi kepala desa yang baru. Yang membuat saya kagum, setelah dinyatakan dipilih menggantikan incumbent, sikap Mas Jundi tetap baik dengan 2 calon pilkades lainnya.

Sebelumnya Mas Jundi gak bisa ngetik word, excel dan segala pengoperasian yang ada di komputer. Bisa sih, tetapi gak terlalu expert. Nah, sejak jadi kepala desa, entah dia belajar bagaimana, saya membaca laporan desanya sangat runtut. Dia mengerakan sendiri. Meskipun kami dipisahkan jarak Klaten-Jakarta, saya tetap mengetahui perkembangan kebijakannya. Karena Sabtu dan Minggu adalah jadwal online untuk keluarga di rumah Klaten. Kebetulan, Mbak Era (istrinya Mas Joko, kakak ketiga saya yang serumah dengan saya) juga memberikan masukan-masukan tentang kebijakan hukum mengenai tindakan yang diambil oleh Mas Jundi. Kalau pas lebaran seru banget, ngobrolnya nyambung tentang kebijakan di pusat dan di desa, hehe.

Ini adalah tahun ketiga Mas Jundi menjabat sebagai kepala desa, dan saya akan menceritakan beberapa kebijakan yang menjadi program kerjanya, here we go :

Tahun Pertama, Penertiban Perangkat dan Kegiatan Administrasi

Di tahun pertama ini, Mas Jundi memulai untuk tertib absen bagi setiap perangkatnya pada waktu jam kerja. Menelpon setiap perangkat jika di balai desa masih sepi. Tidak serta merta langsung tertib, tetapi berjalannya waktu, para perangkat mulai disiplin dengan jam kerja. Mas Jundi sering meminta masukan mengenai kebijakan-kebijakan hukum untuk desa. Biasanya saya mengunduh peraturan yang disebutkan Mas Jundi melalui internet dan mendiskusikannya melalui telepon. Saat saya tidak mengerti, saya berdiskusi dengan Mbak Era yang lebih expert tentang produk hukum tersebut. Contoh konkretnya adalah saat terjadi kekosongan salah satu perangkatnya, kaur kesejahteraan rakyat (hingga sekarang belum terisi). Bagaimana dan siapa yang berhak mengangkat Kaur Kesra? Siapa yang berwenang menggantikan posisi itu? Mas Jundi tidak segan untuk bertanya. Ssst, gara-gara itu juga lho Mas Jundi punya email dan facebook. Iya, saya mengakui bahwa Mas Jundi pembelajar yang baik.

Awal kepemimpinannya, banyak kritik dan masukan dari beberapa pihak. Ada yang bersifat konstruktif dan ada juga yang destruktif. Untuk yang gak suka, Mas Jundi salah sidikit saja bisa dikuliti sampai habis. Karena kebijakan yang diambil Mas Jundi tidak bisa menyenangkan semua pihak, maka dia pun menjalaninya dengan santai jika apa yang diambilnya sesuai dengan aturan yang benar. Dan itulah pendidikan politik di level yang paling bawah—desa.

Mas Jundi belajar secara otodidak. Jam kantor di balai desa yang seharusnya jam 08.00 – 16.00 dilaksanakan secara fleksibel. Kalau memang tidak bertemu di balai desa, para warga bisa sms atau telepon untuk janjian di rumah. Bahkan sering lho, jam 05.00 pagi ada warga yang datang ke rumah untuk meminta tanda tangan atau meminta surat pengantar. Nah kan, jam kerjanya non stop.

Tahun Kedua, Perbaikan Infrastruktur dan Kas Desa

Sehari setelah Mas Jundi terpilih, para masyarakat banyak yang datang silih berganti ke rumah untuk mengucapkan selamat atau menyampaikan harapannya terhadap kepemimpinan Mas Jundi ke depan. Malamnya saat sekeluarga berkumpul, saya berkelakar “Besok kalau aku pulang dari Jakarta, semua jalanan tolong dibikin mulus ya, Pak Lurah” Bapak, Ibu dan seisi ruangan tertawa (jadi saksi dan bakalan ditagih kalau enggak mulus, ehehe).

 
Proyek Perbaikan Jalan yang Memberdayakan Masyarakat 

Saya pikir, masyarakat tidak membutuhkan janji yang muluk-muluk. Mereka hanya minta sarana dan pra sarana yang baik. Kebahagiaan mereka adalah sesederhana saat melewati jalan aspal yang nyaman dan irigasi lancar. Karena sebagian besar masyarakat di desa saya bermatapencaharian sebagai petani dan wirausaha mikro.

Di tahun kedua ini pas saya pulang Klaten, Mas Jundi mengajak saya keliling di beberapa ruas jalan yang dulunya rusak parah dan bertahun-tahun belum diperbaiki. Saya senyum-senyum karena jalannya sudah mulus. Mas Jundi membangun relasi dan mencari informasi untuk pengajuan proyek pembangunan infrastruktur untuk kenyamanan masyarakat. Alhamdulillah, desa mendapat bantuan dari Kementrian Pekerjaan Umum untuk perbaikan infrastruktur pedesaan. Beberapa jalan utama yang rusak diperbaiki. Ini baru beberapa, masih ada rencana perbaikan jalan lagi. Proyek tersebut dilaksanakan dengan memberdayakan warga setempat, sehingga arus keuangannya pun juga transparan. Rencananya di tahun ketiga akan ada perbaikan jalan di daerah Bulurejo di RW 8.

 
Salah satu proyek jalan yang sudah selesai diperbaiki

Mas Jundi juga fokus kepada pembuatan talut agar irigasi untuk para petani lancar. Beberapa proyek talut sudah selesai dikerjakan dan diharapkan para petani tidak kesulitan untuk pengairan sawahnya di musim kemarau seperti beberapa waktu yang lalu. Beberapa proyek perbaikan infrastruktur diajukan berdasarkan proposal kepada Kabupaten. Jika di-approve pun juga tidak serta merta langsung cair. Jadi, Mas Jundi pun menerapkan skala prioritas proyek mana yang urgen untuk didahulukan.

Pembuatan gorong-gorong untuk irigasi sawah 

 
Pembuatan talut untuk kelancaran irigasi masyarakat di sawah

Selain perbaikan infrastruktur, Mas Jundi juga memiliki program surplus dana desa. Maksudnya, pengelolaan dana desa yang lebih baik dan pencatatan arus kas dilakukan secara transparan dan jelas. Berkat kerja kerasnya, di tahun ini, 9 (Sembilan) RW diberikan jatah masing-masing sebesar Rp. 5.000.000 yang dialokasikan sesuai dengan kegiatan di masing-masing RW-nya.

Tahun Ketiga, Memberdayakan Usaha Masyarakat

Di desa desa saya kebanyakan bermatapencaharian sebagai petani dan sebagian lain wirausaha mikro. Di tahun ketiga ini, Mas Jundi punya program untuk memberdayakan mass market (Mas Jundi gak tau sih istilah keren ini, ehehe). Saya menyimpulkan istilah itu berdasarkan dari ceritanya saja. Ada Lik Sum yang hampir separuh hidupnya berjualan bubur. Mas Narto yang menyewakan gerobaknya saat musim panen tiba dan sampingan berjualan soto di rumah bersama istrinya. Ada Mbak Harti yang setia menjadi penjahit dan beliau adalah langganan keluarga kami. Itu baru contoh di 2 RW lho, masih ada 7 RW dengan sample yang bermacam-macam. Mas Jundi juga pernah cerita di salah satu RW-nya ada warga yang harus menjual kayunya ke pasar dengan jalan kaki. Trenyuh saat saya mendengar perjuangan salah satu mass market itu.

Sebenarnya potensi-potensi usaha mikro tersebut dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik. Namun ada 2 kendala besar yang menurut saya menjadi PR yang harus dipecahkan Mas Jundi, yaitu : Modal dan Mentor. Sumber daya manusianya sudah ada, tetapi jika tidak didukung dengan modal yang memadai, maka usaha tersebut tidak akan berjalan dengan optimal. Kalaupun ada modal, jika tidak ada mentor yang memberikan arahan berupa strategi usaha dan pengelolaannya yang baik juga tidak akan maksimal. Dana desa tidak dapat digunakan sebagai sumber modal warga karena alokasinya sudah tersedot untuk perbaikan infrastruktur dan irigasi. Sehingga Mas Jundi masih mencari jalan lain agar dapat memberdayakan usaha mikro masyarakatnya. Totalitas jadi bapak desa, ceritanya :D.

Data menunjukkan, mayoritas masyarakat Indonesia mendapatkan pendanaan dari non bank secara informal. Dari sekitar 60% masyarakat Indonesia yang biasa meminjam uang, hanya 17% yang mengakses pinjaman di bank, sementara 43% mencari pinjaman di layanan informal. Hal ini terkait dengan habbit masyarakat Indonesia, dimana 40% enggan meminjam uang, dari jumlah tersebut 60% merasa takut pinjam uang, 20% tidak butuh pinjaman, dan 4% tidak memiliki jaminan. Bandingkan dengan Malaysia yang 100% masyarakatnya sudah pernah meminjam.

Berdasarkan data tersebut, ternyata ada salah satu upaya solutif untuk memberdayakan mass market selain melalui pinjaman karena masyarakat Indonesia masih enggan mencari pinjaman di bank, yaitu menabung di BTPN Sinaya. Kenapa di BTPN Sinaya? Bedanya apa dengan Bank lain? Informasi ini yang kemarin ditanyakan oleh Mas Jundi. Karena jujur, gerakan menabung di pedesaan itu sepertinya kurang populer. Mereka lebih memilih menabung dalam bentuk barang atau hewan ternak, misalnya : sapi, kambing atau emas.

Berasal dari frasenya, Sinaya berarti “Sinar yang Memberdayakan”. Jadi, seluruh dana masyarakat yang disimpan di BTPN Sinaya disalurkan kembali kepada masyarakat berpenghasilan yang notabene masih pra-sejahtera serta pelaku usaha mikro dan kecil. Selain itu, nasabah dapat berbagi dan berinteraksi langsung dengan nasabah mass market melalui program Sahabat Daya.

Awalnya Mas Jundi belum paham mengenai arah pembicaraan kami. Banyak pertanyaan yang muncul, kok nabung bisa memberdayakan? Siapa yang menjadi sasaran nasabah biar bisa memberdayakan masyarakat yang memiliki usaha mikro? Dan masih banyak beberapa pertanyaan lain yang dilontarkan Mas Jundi karena antusiasnya mendapat jalan keluar atas kendala dari program kerjanya.

Kalau di telepon memang terbatas sih, makanya saya membuat catatan tentang upaya solutif tersebut dan memutuskan untuk memposting di blog untuk referensi kepala desa yang mungkin memiliki kendala yang sama. Yaitu modal dan mentor untuk masyarakatnya yang memiliki usaha mikro.

Kenapa Menabung di BTPN Sinaya? 
Dengan menabung di BTPN Sinaya, disamping mendapatkan bunga yang kompetitif, selain itu dapat memberdayakan mass market. Jadi, dengan menabung, kendala modal dan mentor dapat teratasi sekaligus. Karena memang tabungan BTPN Sinaya ditujukan untuk memberdayakan usaha mikro.

Siapa yang menjadi sasaran untuk menabung di BTPN Sinaya?

1. Pelaku usaha mikro. Dengan penjelasan-penjelasan dan edukasi kepada mereka tentang informasi BTPN Sinaya, mereka dapat menjadi nasabah produktif. Menabung dan mendapatkan manfaat dari hasil tabungannya selain bunga, yaitu obyek pemberdayaan. Karena pihak BTPN Sinaya akan merangkul dan membina usaha para nasabah yang memiliki usaha mikro. Jadi BTPN Sinaya dapat menjadi mitra untuk usaha mereka.

2. Masyarakat menengah ke atas. Kepala desa dapat menggandeng masyarakat menengah ke atas untuk ikut andil dalam memberdayakan mass market, yaitu dengan menabung di BTPN Sinaya. Sehingga bisa dikatakan, dengan menjadi nasabah BTPN Sinaya, para penabung dan deposan bisa turut andil dalam upaya menciptakan kesempatan bagi mass market untuk tumbuh dan memiliki hidup yang lebih berarti. Segmen mass market bukan hanya membutuhkan akses keuangan, tetapi juga pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas mereka. Dengan melibatkan masyarakat kelas menengah ke atas, maka hal tersebut dapat menanggulangi adanya kesenjangan sosial yang mencolok dengan masyarakat yang pra sejahtera.

Berikut saya berikan gambaran singkat tentang simulasi menabung di BTPN Sinaya
Masuk ke web http://www.menabunguntukmemberdayakan.com/ Klik "Mulai Simulasi"

Pilih mau memakai akun FB atau secara manual dengan email

Masukkan nama dan email serta pilih bidang yang akan diberdayakan lalu klik "Login"

Kita bisa memilih berapa besar nominal yang akan ditabung dan berapa lama jangka waktu menabung

Inilah hasil simulasi untuk nominal uang 500 ribu selama 2 tahun

Masih banyak yang belum mengetahui tentang tabungan Sinaya. Mas Jundi pun sebelum saya ceritain juga gak tahu. Jadi, sebagai kepala desa yang menjadi bapaknya warga, perannya sangat penting untuk menyebarkan informasi tersebut agar banyak yang menabung dan banyak juga masyarakat diberdayakan melalui modal dan bimbingan dari mentor yang pakar dalam bidangnya. Ada beberapa jalan untuk menginformasikan tentang hal tersebut, antara lain :

1. Lewat Kumpulan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang sasarannya adalah ibu-ibu. Kalau ini bisa dilakukan oleh Ibu Kades. Sejak awal kepemimpinan Mas Jundi, Mbak Endang giat menghidupkan kegiatan PKK. Senam, kumpulan, pertemuan posyandu dan beberapa kegiatan lain yang sebelumnya sempat vakum. Di desa, banyak ibu-ibu yang memiliki usaha mikro, seperti : menjahit, menjual kelontong, menjual makanan dan gorengan, dll. Melalui forum PKK tersebut, Mas Jundi dan Mbak Endang dapat menghimbau dan mengajak ibu-ibu untuk gemar menabung di BTPN Sinaya yang tujuannya adalah memberdayakan usaha kecil mereka. Iya, mereka menjadi role model untuk itu

2. Lewat Kumpulan Siskamling di tiap RW. Kalau di poin pertama sasarannya adalah Ibu-Ibu, untuk forum siskamling, sasarannya adalah bapak-bapak.

3. Menggerakkan pemuda. Mas Jundi dapat bekerja sama dengan organisasi pemuda di tiap RW untuk menginformasikan tentang budaya menabung di BTPN Sinaya. Bahkan, Mas Jundi juga bisa mengajak mereka untuk ikut menabung dan andil dalam meberdayakan masyarakat. Jadi, dengan hal tersebut dapat menjalin hubungan yang harmonis antara pemuda dan kaum sepuh.

4. Mouth by Mouth. Mas Jundi relasinya banyak, dari badminton hingga rekan sesama kades. Biasanya informasi cerita mulut ke mulut ini sangat ampuh, mengingat di desa masih banyak masyarakat yang masih awam teknologi digital

Kepala Desa berfungsi sebagai penggerak dan integrator yang aktif untuk memberdayakan masyarakatnya. Karena saya yakin, sebenarnya masyarakat juga ingin maju, hanya saja memerlukan arahan dan bimbingan. Sehingga dengan budaya menabung, setiap masyarakat dapat aktif dalam memberdayakan usahanya, baik dari kalangan menengah keatas, maupun kalangan pra sejahtera. Baik dari pemuda maupun para orang tua.
Semoga amanah Mas Jundi--Bekerjalah maka Allah, Rasul dan orang mukmin akan melihat pekerjaanmu :)

Semoga dengan menabung di BTPN Sinaya, program Mas Jundi untuk memberdayakan masyarakat dapat tercapai. Kan keren tuh, memberdayakan mass market di desa lewat menabung sebagai langkah solutifnya. Terima kasih mass market, yuk menabung untuk memberdayakan J.


Sumber :
http://www.menabunguntukmemberdayakan.com/

http://www.btpn.com/berita-and-media/ulasan-khusus/btpn-wow-inovasi-layanan-keuangan-inklusif/
Foto proyek jalan dan talut dikirim dan diambil oleh Mas Jundi Istnanto

Pramoedya Ananta Toer

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta Toer
Kata-kata Pram memang nampol banget. Usia buku bisa melebihi usia penulisnya. Sosok Pram masih hangat sampai sekarang lewat tulisan-tulisannya. Bahkan beberapa bukunya sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa. KEREN!
Saya suka menulis sejak duduk di bangku SD. Pelajaran Bahasa Indonesia menjadi favorit dan niali mapel itu seringkali mendongkrak nilai rapor yang jomplang gara-gara Matematika, ahahaha. Mengarang, berimajinasi, berpuisi, pidato, mendongeng, pokoknya yang berkelindan dengan itu, saya sangat suka.
Naik SMP dan kenal karya tulis ilmiah, akhirnya saya ikut menekuni kegiatan itu. Pada waktu guru Bahasa Indonesianya bernama Bu Sri Wagiyati. Beliau gak ngajar saya sih, kami akrab karena saya ikut beberapa karya tulis ilmiah dan sering ikut lomba bercerita yang kurang peminatnya, ahaha. Saya sering ikut lomba secara mandiri. Maksudnya, sering ikut-ikut lomba karena saya tahu pengumuman tersebut dari koran atau majalah dinding. Jadi ikut diam-diam tetapi pada akhirnya maju lomba didampingi oleh pihak sekolah.
Di tingkat SMP hanya menang 2 atau 3 saja. Belum pernah juara 1, tetapi seneng banget karena dapat uang saku, ekeke. Lomba menulis itu kayak ibarat candu. Paling susah mikir rumusan masalahnya. Kalau itu udah ketemu, biasanya lancar jaya. Eh gak juga ding, ada lika-likunya juga pas menganalisis masalah dengan kajian teorinya.
Beranjak ke SMA, saya mencoba men-challange untuk ikut lomba menulis karya ilmiah yang termasuk non fiksi di tingkat karesidenan. Beberapa kali ikut hanya juara 2 dan 3 saja dan kayaknya penasaran banget rasanya juara 1 itu seperti apa. Ekeke. Akhirnya, waktu saya kelas 3 dan ikut lomba menulis tentang corporate social responbility sebuah perusahaan. Waktu itu saya menulis tentang Tanggung Jawab PG Gondang Baru terhadap Hasil Limbah Tebunya. 3 bulan melakukan research dan melakukan wawancara dibantu Ajeng Nurlaila (padahal dulu kita berdua gak akrab lho, tapi dia mau bantuin nyebar angket, hihi) kepada masyarakat yang tinggal di sekitar PG Gondang Baru. Final presentasinya di Jogya dan saya diantar oleh guru pembimbing yang lagi-lagi kami akrab karena saya suka banget ikut lomba-lomba begini. Pas pengumuman dan saya juara 1, rasanyaaaaaa kayak pecah telur. Ahaha. Memang luar biasa senangnya saat tulisan yang kita buat dihargai oleh orang lain.
Selain menulis non fiksi, saya juga suka menulis cerita fiksi. Entah dalam bentuk puisi, cerpen dan sampai saat ini belum kesampaian buat nulis novel. Sudah membuat plot, setting dalam outline, tetapi mandeg di jalan. Makanya waktu kemarin lomba bikin cerita #LoveStory yang diadakan Mbak Maya Siswadi, saya ngebet pengen ikutan. Dan alhamdulillah juara 1 (*kalem).
Lebih suka Fiksi atau Non Fiksi?
Saya cinta keduanya. Tidak berat sebelah. Dulu sampai sekarang non fiksi lebih ke hal-hal yang berbau akademis. Sedangkan fiksi adalah selingan dari rutinitas, bisa juga menjadi self healing. Saya punya beberapa outline novel yang masih tersimpan di folder. Ingin menyelesaikannya karena itu adalah salah satu impian saya.
Tadi pagi pas duduk di KRL tiba-tiba saja Mbak Ella nge-tag Give away yang hadiahnya mentoring gratis untuk menerbitkan buku oleh kursus menulis online Smart Writer. Dibimbing langsung oleh Mbak Leyla Hana dan Mbak Riawany Elita yang telah menulis beberapa buku sehingga membuat saya ingin menjadi bagian untuk kursus menulis online Smart Writer yang mereka kelola. Duh, semoga berjodoh ya Mbak (*ngarep banget).
Seperti yang yang disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer, bahwa dengan menulis, nama kita akan abadi setelah mati. Jadi, hal tersebut memperkuat keinginan saya untuk SEGERA menyelesaikan outline dan menerbitkan sebuah-atau bahkan beberapa buah buku. Beberapa kali saya mengalami block writer sehingga outline naskah hanya berhenti pada wacana saja. Untuk itu, biar lebih terarah dalam proses menulis hingga buku tersebut terbit, saya butuh coach. Iyaaaa, saya pengen dimentori langsung sama Mbak Ella dan mbak Ria di kursus menulis online smart write.
Btw, selamat ulang tahun Smart Writer semoga makin jaya dan mencetak penulis-penulis andalan J.
1st Giveaway Smart Writer